Peneror atau siapa...????
Kali ini saya ingin berbagi dan curhat kepada kalian dan para pembaca yang budiman:
Tepatnya hari Kamis tanggal 1 Januari 2015 sekira pukul 11.00, dan pada saat itu bertapatan saya sedang menikmati acara refreshing bersama keluarga di objek wisata "Pallette" Kabupaten Bone. Setelah memarkir mobil, tiba-tiba ponsel saya bergetar khas SMS. SMS itu dikirim dari seseorang yang sudah sangat asing bagi saya. saya tidak tau apaka itu perempuan atau laki-laki??? yang jelas akhir SMSnya, dia tulis nama "Besse Mutmainnah".
Inti smsnya dia memaki-maki dan menghardik saya dengan kataa-kata yang tidak sepanta, yaitu:
1. Seakan dia mendoakan dan menginginkan pesawat yang saya
tumpangi Makassar - Surabaya atau sebaliknya mengalami seperti
yang dialami pesawat Air Asia QZ8501 (kecelakaan)
2. Mengata-ngatai saya bencong,
3. Mendoakan saya agar tidak memiliki keturunan.
4. katanya saya ini, tidak bertuan.
5. Dia ingin mengajak saya ketemuan bersama istri saya
Dari beberapa SMSnya yang saya terima, saya hanya membalasnya satu kali saja dengan isi " Assalamu alaikum, terima kasih banyak atas semuanya, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmatnya"
Dan pagi tadi hari ini (Selasa, 27 Januari 2015) tepatnya pukul 07.08, ketika saya sedang menikmati sarapan bersama istri tiba-tiba ponsel saya berdering dari nomor +625397886295 namanya di ponsel saya "ipinupin", tidak saya terima karena sudah meyakinkan ini "pengganggu" / "peneror". Lalu kemudian ponsel saya kembali berdering nomor panggilan +6285397905917 nama di ponselku "imutmainnah". kali ini saya terima, langsung terdengar suara cewek tapi bernada kasar, dia bilang, "Apa maumu?" seketika pun saya tutup. Mungkin salah sambung??? dan hatiku kembali berkata, apa??? kamu itu, apa maumu?? pagi-pagi mengganggu aja. Saya yakin ini pasti "Besse Mutmainnah" itu.
Istri saya yang sedang menikmati sarapan, tiba-tiba berkata, "janga meki bati-bati sayangku, orang tidak waras itu. Hehehe...
Iye sayangq, tau malasa memeng. "Makan lagi yuk....!!!
Sekira 2 minggu yang lalu, saya mencoba berbagi tentang hal di atas ke salah seorang dosen saya (guru besar) ahli ilmu sosial dan psikologi sosial,
Dia berkata, "Orang seperti itu, jangan dilayani komunikasinya karena ia akan menjadi-jadi amarahnya" dan secara psikologi, itu ada kelainan, yaitu:
1. memiliki kecemburuan sosial,
2. jika dia perempuan, dan usianya sudah sekira 30-an, dan belum menikah, ya.... wajar saja di begitu
3. cocoknya dibawa saja ke rumah sakit jiwa.
Kalau menurut teman-teman pembaca sendiri, bagaimana????
Silakan diberikan tanggapan dan respon di halaman komentar facebook saya.
GADO-GADO
Senin, 26 Januari 2015
Minggu, 02 Juni 2013
Dampak dari Pergaulan Bebas
Dampak dari Pergaulan Bebas
Oleh : Muhsyanur, S.Pd
41.jpg
Tingginya
kasus penyakit Human Immunodeficiany Virus/Acquired Immnune Deficiency
Syndrome (HIV/AIDS), khususnya pada kelompok umur remaja, salah satu
penyebabnya akibat pergaulan bebas.Hasil penelitian di 12 kota di
Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 10-31% remaja yang belum menikah
sudah pernah melakukan hubungan seksual.
Di kota
Denpasar dari 633 pelajar Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) yang baru
duduk di kelas II, 155 orang atau 23,4% mempunyai pengalaman hubungan
seksual.
Mereka terdiri atas putra 27% dan putri 18%.
Data statistik nasional mengenai penderita HIV/AIDS di Indonesia
menunjukkan bahwa sekitar 75% terjangkit hilangnya kekebalan daya tubuh
pada usia remaja.
Demikian pula masalah remaja terhadap
penyalahgunaan narkoba semakin memprihatinkan.Berdasarkan data
penderita HIV/AIDS di Bali hingga Pebruari 2005 tercatat 623 orang,
sebagian besar menyerang usia produktif. Penderita tersebut terdiri atas
usia 5-14 tahun satu orang, usia 15-19 tahun 21 orang, usia 20-29 tahun
352 orang, usia 30-39 tahun 185 orang, usia 40-49 tahun 52 orang dan 50
tahun ke atas satu orang.
semakin memprihatinkan
penderita HIV/AIDS memberikan gambaran bahwa, cukup banyak permasalahan
kesehatan reproduksi yang timbul diantara remaja. Oleh sebab itu
mengembangan model pusat informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi
remaja melalui pendidik (konselor) sebaya menjadi sangat penting.
“Pusat
informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja menjadi model
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan menumbuhkan kesadaran dan
peranserta individu memberikan solusi kepada teman sebaya yang mengalami
masalah kesehatan reproduksi”.
Pelatihan Managemen
tersebut diikuti 24 peserta utusan dari delapan kabupaten dan satu kota
di Bali berlangsung selama empat hari.
Belum lama ini
ada berita seputar tentang keinginan sekelompok masyarakat agar aborsi
dilegalkan, dengan dalih menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia. Ini
terjadi karena tiap tahunnya peningkatan kasus aborsi di Indonesia kian
meningkat, terbukti dengan pemberitaan di media massa atau TV setiap
tayangan pasti ada terungkap kasus aborsi. Jika hal ini di legalkan
sebgaimana yang terjadi di negara-negara Barat akan berakibat rusaknya
tatanan agama, budaya dan adat bangsa. Berarti telah hilang nilai-nilai
moral serta norma yang telah lama mendarah daging dalam masyarakat. Jika
hal ini dilegal kan akan mendorong terhadap pergaulan bebas yang lebih
jauh dalam masyarakat.
Orang tidak perlu menikah untuk
melakukan hubungan seks. Sedangkan pelepasan tanggung jawab kehamilan
bisa diatasi dengan aborsi. Legalisasi aborsi bukan sekedar
masalah-masalah kesehatan reproduksi lokal Indonesia, tapi sudah
termasuk salah satu pemaksaan gaya hidup kapitalis sekuler yang
dipropagandakan PBB melalui ICDP (International Conference on
Development and Population) tahun 1994 di Kairo Mesir.
Pada
dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami ;
penderitaan kehilangan harga diri (82%), berteriak-teriak histeris
(51%), mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%), ingin bunuh diri
(28%), terjerat obat-obat terlarang (41%), dan tidak bisa menikmati
hubungan seksual (59%).
Aborsi atau abortus berarti
penguguran kandungan atau membuang janin dengan sengaja sebelum
waktunya, (sebelum dapat lahir secara alamiah). Abortus terbagi dua;
Pertama,
Abortus spontaneus yaitu abortus yang terjadi secara tidak sengaja.
penyebabnya, kandungan lemah, kurangnya daya tahan tubuh akibat
aktivitas yang berlebihan, pola makan yang salah dan keracunan.
Kedua,
Abortus provocatus yaitu aborsi yang disengaja. Disengaja maksudnya
adalah bahwa seorang wanita hamil sengaja menggugurkan kandungan/
janinnya baik dengan sendiri atau dengan bantuan orang lain karena tidak
menginginkan kehadiran janin tersebut.
Risiko Aborsi
Aborsi
memiliki risiko penderitaan yang berkepanjangan terhadap kesehatan
maupun keselamatan hidup seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan
bahwa seseorang yang melakukan aborsi ia ” tidak merasakan apa-apa dan
langsung boleh pulang “.
Ini adalah informasi yang
sangat menyesatkan bagi setiap wanita, terutama mereka yang sedang
kebingungan karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terjadi.
Resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi berisiko
kesehatan dan keselamatan secara fisik dan gangguan psikologis.
Dalam
buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd; Risiko
kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang wanita pada
saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi adalah ;
- Kematian mendadak karena pendarahan hebat.
- Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal.
- Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan.
- Rahim yang sobek (Uterine Perforation).
- Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.
- Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita),
- Kanker indung telur (Ovarian Cancer).
- Kanker leher rahim (Cervical Cancer).
- Kanker hati (Liver Cancer).
-
Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan
cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan
berikutnya.
- Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi ( Ectopic Pregnancy).
- Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease).
- Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
Proses
aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi
kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga
memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang
wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion
Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat
dalam ” Psychological Reactions Reported After Abortion ” di dalam
penerbitan The Post-Abortion Review. Oleh sebab
itu yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hal ini adanya
perhatian khusus dari orang tua remaja tersebut untuk dapat memberikan
pendidikan seks yang baik dan benar. Dan memberikan kepada remaja
tersebut penekanan yang cukup berarti dengan cara meyampaikan; jika mau
berhubungan seksual, mereka harus siap menanggung segala risikonya yakni
hamil dan penyakit kelamin.
Namun disadari, masyarakat (orangtua) masih memandang tabu untuk memberikan pendidikan, pengarahan sex kepada anak. Padahal hal ini akan berakibat remaja mencari informasi dari luar yang belum tentu kebenaran akan hal sex tersebut.
Nilai Pancasila
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh perusahaan riset Internasional Synovate atas nama DKT Indonesia melakukan penelitian terhadap perilaku seksual remaja berusia 14-24 tahun. Penelitian dilakukan terhadap 450 remaja dari Medan, Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 64% remaja mengakui secara sadar melakukan hubungan seks pranikah dan telah melanggar nilai-nilai dan norma agama. Tetapi, kesadaran itu ternyata tidak mempengaruhi perbuatan dan prilaku seksual mereka. Alasan para remaja melakukan hubungan seksual tersebut adalah karena semua itu terjadi begitu saja tanpa direncanakan.
Hasil penelitian juga memaparkan para remaja tersebut tidak memiliki pengetahuan khusus serta komprehensif mengenai seks. Informasi tentang seks (65%) mereka dapatkan melalui teman, Film Porno (35%), sekolah (19%), dan orangtua (5%). Dari persentase ini dapat dilihat bahwa informasi dari teman lebih dominan dibandingkan orangtua dan guru, padahal teman sendiri tidak begitu mengerti dengan permasalahan seks ini, karena dia juga mentransformasi dari teman yang lainnya.
Kurang perhatian orangtua, kurangnya penanaman nilai-nilai agama berdampak pada pergaulan bebas dan berakibat remaja dengan gampang melakukan hubungan suami istri di luar nikah sehingga terjadi kehamilan dan pada kondisi ketidaksiapan berumah tangga dan untuk bertanggung jawab terjadilah aborsi. Seorang wanita lebih cendrung berbuat nekat (pendek akal) jika menghadapi hal seperti ini.
Pada zaman modren sekarang ini, remaja sedang dihadapkan pada kondisi sistem-sistem nilai, dan kemudian sistem nilai tersebut terkikis oleh sistem nilai yang lain yang bertentangan dengan nilai moral dan agama. Seperti model pakaian (fasion), model pergaulan dan film-film yang begitu intensif remaja mengadopsi kedalam gaya pergaulan hidup mereka termasuk soal hubungan seks di luar nikah dianggap suatu kewajaran.
Bebera faktor yang menyebabkan terjadinya pergaulan bebas dikalangan remaja yaitu;
Pertama, Faktor agama dan iman.
Kedua, Faktor Lingkungan seperti orangtua, teman, tetangga dan media.
Ketiga, Pengetahuan yang minim ditambah rasa ingin tahu yang berlebihan.
Keempat, Perubahan Zaman.
Nilai Agama
Firman Allah: ” Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.” ( QS 17:31 ). Banyak calon ibu yang masih muda beralasan bahwa karena penghasilannya masih belum stabil atau tabungannya belum memadai, kemudian ia merencanakan untuk menggugurkan kandungannya.
Padahal ayat tersebut telah jelas menerangkan bahwa rezeki adalah urusan Allah sedangkan manusia diperintahkan untuk berusaha. Membunuh satu nyawa sama artinya dengan membunuh semua orang. Menyelamatkan satu nyawa sama artinya dengan menyelamatkan semua orang.
Islam memberikan ganjaran dosa yang sangat besar terhadap pelaku aborsi. Firman Allah: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena sebab-sebab yang mewajibkan hukum qishash, atau bukan karena kerusuhan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya.” (QS 5:32 )
Oleh sebab itu aborsi adalah membunuh, membunuh berarti melakukan tindakan kriminal dan melawan terhadap perintah Allah. Al-Quran menyatakan: “Adapun hukuman terhadap orang-orang yang berbuat keonaran terhadap Allah dan RasulNya dan membuat bencana kerusuhan di muka bumi ialah: dihukum mati, atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, atau diasingkan dari masyarakatnya. Hukuman yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang pedih.” (QS 5:36)
Nilai Yuridis/Hukum
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan pasal 229 ayat (1) dikatakan bahwa perbuatan aborsi yang disengaja atas perbuatan sendiri atau meminta bantuan pada orang lain dianggap sebagai tindakan pidana yang diancam dengan hukuman paling lama 4 tahun penjara atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Ayat (2) pasal 299 tersebut melanjutkan bahwa apabila yang bersalah dalam aborsi tersebut adalah pihak luar ( bukan ibu yang hamil ) dan perbuatan itu dilakukan untuk tujuan ekonomi, sebagai mata pencarian, maka hukumannya dapat ditambah sepertiga hukuman pada ayat (1) dia atas.
Apabila selama ini perbuatan itu dilakukan sebagai mata pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan mata pencarian tersebut. Kemudian pada pasal 346 dikatakan bahwa wanita yang dengan sengaja menggugurkan kandungannya atau meyuruh orang lain untuk melakukan hal itu diancam hukuman penjara paling lama empat tahun.
Pada pasal 347 ayat (1) disebutkan orang yang menggugurkan atau mematikan kehamilan seorang wanita tanpa persetujuan wanita itu diancam hukuman paling lama 12 tahun penjara, dan selanjutnya ayat (2) menyebutkan jika dalam menggugurkan kandungan tersebut berakibat pada hilangnya nyawa wanita yang mengandung itu, maka pihak pelaku dikenakan hukuman penjara paling lama 15 tahun.
Dalam pasal 348 ayat (1) disebutkan bahwa orang yang dengan sengaja menggugurkan kandungan seorang wanita atas persetujuan wanita itu diancam hukuman paling lama 15 tahun penjara, dan ayat (2) melanjutkan, jika dalam perbuatan itu menyebabkan wanita itu meninggal, maka pelaku diancam hukuman paling lama 17 tahun penjara. Dengan demikian, perbuatan aborsi di Indonesia termasuk tindakan kejahatan yang diancam dengan hukuman yang jelas dan tegas.
Kesimpulan
Telah jelas bagi kita tidak ada dasar bagi Rancangan pembentukan Undang-undang legalisasi aborsi karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Agama dan Hukum yang berlaku. Legalisasi aborsi akan mendorong pergaulan bebas lebih jauh dalam masyarakat.
Orang tidak perlu menikah untuk melakukan hubungan seks. Sedangkan pelepasan tanggung jawab kehamilan bisa diatasi dengan aborsi. Sedangkan dilarang saja masih banyak terjadi aborsi, bagaimana jika hal ini dilegalkan? Legalisasi akan berakibat orang tidak lagi takut untuk melakukan hubungan intim pranikah, prostitusi karena jika hamil hanya tinggal datang ke dokter atau bidan beranak untuk menggugurkan, dengan kondisi ini dokter ataupun bidan dengan leluasa memberikan patokan harga yang tinggi dalam sekali melakukan pengguguran.
Jika perharinya yang melakukan aborsi 7 s/d 8 orang dan harga sekali aborsi sebesar Rp. 4.000.000,-, berarti dalam satu harinya dokter ataupun bidan bisa meraup keuntungan sebesar Rp. 32.000.000,-. Jika di legalkan hal tersebut lebih berdampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan remaja, legalisasi tidak memberikan manfaat bagi masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Agama, jika bertentangan tidak perlu diterima/dibentuk peraturan tersebut.
Yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana remaja dapat menempatkan dirinya sebagai remaja yang baik dan benar sesuai dengan tuntutan agama dan norma yang berlaku di dalam masyarakat serta dituntut peran serta orangtua dalam memperhatikan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari anaknya, memberikan pendidikan agama, memberikan pendidikan seks yang benar. Oleh sebab itu permasalahan ini merupakan tugas seluruh elemen bangsa tanpa terkecuali, agar menjadi sebuah proritas dalam penanganannya agar tidak terjadi kematian disebabkan aborsi tersebut.
Namun disadari, masyarakat (orangtua) masih memandang tabu untuk memberikan pendidikan, pengarahan sex kepada anak. Padahal hal ini akan berakibat remaja mencari informasi dari luar yang belum tentu kebenaran akan hal sex tersebut.
Nilai Pancasila
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh perusahaan riset Internasional Synovate atas nama DKT Indonesia melakukan penelitian terhadap perilaku seksual remaja berusia 14-24 tahun. Penelitian dilakukan terhadap 450 remaja dari Medan, Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 64% remaja mengakui secara sadar melakukan hubungan seks pranikah dan telah melanggar nilai-nilai dan norma agama. Tetapi, kesadaran itu ternyata tidak mempengaruhi perbuatan dan prilaku seksual mereka. Alasan para remaja melakukan hubungan seksual tersebut adalah karena semua itu terjadi begitu saja tanpa direncanakan.
Hasil penelitian juga memaparkan para remaja tersebut tidak memiliki pengetahuan khusus serta komprehensif mengenai seks. Informasi tentang seks (65%) mereka dapatkan melalui teman, Film Porno (35%), sekolah (19%), dan orangtua (5%). Dari persentase ini dapat dilihat bahwa informasi dari teman lebih dominan dibandingkan orangtua dan guru, padahal teman sendiri tidak begitu mengerti dengan permasalahan seks ini, karena dia juga mentransformasi dari teman yang lainnya.
Kurang perhatian orangtua, kurangnya penanaman nilai-nilai agama berdampak pada pergaulan bebas dan berakibat remaja dengan gampang melakukan hubungan suami istri di luar nikah sehingga terjadi kehamilan dan pada kondisi ketidaksiapan berumah tangga dan untuk bertanggung jawab terjadilah aborsi. Seorang wanita lebih cendrung berbuat nekat (pendek akal) jika menghadapi hal seperti ini.
Pada zaman modren sekarang ini, remaja sedang dihadapkan pada kondisi sistem-sistem nilai, dan kemudian sistem nilai tersebut terkikis oleh sistem nilai yang lain yang bertentangan dengan nilai moral dan agama. Seperti model pakaian (fasion), model pergaulan dan film-film yang begitu intensif remaja mengadopsi kedalam gaya pergaulan hidup mereka termasuk soal hubungan seks di luar nikah dianggap suatu kewajaran.
Bebera faktor yang menyebabkan terjadinya pergaulan bebas dikalangan remaja yaitu;
Pertama, Faktor agama dan iman.
Kedua, Faktor Lingkungan seperti orangtua, teman, tetangga dan media.
Ketiga, Pengetahuan yang minim ditambah rasa ingin tahu yang berlebihan.
Keempat, Perubahan Zaman.
Nilai Agama
Firman Allah: ” Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.” ( QS 17:31 ). Banyak calon ibu yang masih muda beralasan bahwa karena penghasilannya masih belum stabil atau tabungannya belum memadai, kemudian ia merencanakan untuk menggugurkan kandungannya.
Padahal ayat tersebut telah jelas menerangkan bahwa rezeki adalah urusan Allah sedangkan manusia diperintahkan untuk berusaha. Membunuh satu nyawa sama artinya dengan membunuh semua orang. Menyelamatkan satu nyawa sama artinya dengan menyelamatkan semua orang.
Islam memberikan ganjaran dosa yang sangat besar terhadap pelaku aborsi. Firman Allah: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena sebab-sebab yang mewajibkan hukum qishash, atau bukan karena kerusuhan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya.” (QS 5:32 )
Oleh sebab itu aborsi adalah membunuh, membunuh berarti melakukan tindakan kriminal dan melawan terhadap perintah Allah. Al-Quran menyatakan: “Adapun hukuman terhadap orang-orang yang berbuat keonaran terhadap Allah dan RasulNya dan membuat bencana kerusuhan di muka bumi ialah: dihukum mati, atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, atau diasingkan dari masyarakatnya. Hukuman yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang pedih.” (QS 5:36)
Nilai Yuridis/Hukum
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan pasal 229 ayat (1) dikatakan bahwa perbuatan aborsi yang disengaja atas perbuatan sendiri atau meminta bantuan pada orang lain dianggap sebagai tindakan pidana yang diancam dengan hukuman paling lama 4 tahun penjara atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Ayat (2) pasal 299 tersebut melanjutkan bahwa apabila yang bersalah dalam aborsi tersebut adalah pihak luar ( bukan ibu yang hamil ) dan perbuatan itu dilakukan untuk tujuan ekonomi, sebagai mata pencarian, maka hukumannya dapat ditambah sepertiga hukuman pada ayat (1) dia atas.
Apabila selama ini perbuatan itu dilakukan sebagai mata pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan mata pencarian tersebut. Kemudian pada pasal 346 dikatakan bahwa wanita yang dengan sengaja menggugurkan kandungannya atau meyuruh orang lain untuk melakukan hal itu diancam hukuman penjara paling lama empat tahun.
Pada pasal 347 ayat (1) disebutkan orang yang menggugurkan atau mematikan kehamilan seorang wanita tanpa persetujuan wanita itu diancam hukuman paling lama 12 tahun penjara, dan selanjutnya ayat (2) menyebutkan jika dalam menggugurkan kandungan tersebut berakibat pada hilangnya nyawa wanita yang mengandung itu, maka pihak pelaku dikenakan hukuman penjara paling lama 15 tahun.
Dalam pasal 348 ayat (1) disebutkan bahwa orang yang dengan sengaja menggugurkan kandungan seorang wanita atas persetujuan wanita itu diancam hukuman paling lama 15 tahun penjara, dan ayat (2) melanjutkan, jika dalam perbuatan itu menyebabkan wanita itu meninggal, maka pelaku diancam hukuman paling lama 17 tahun penjara. Dengan demikian, perbuatan aborsi di Indonesia termasuk tindakan kejahatan yang diancam dengan hukuman yang jelas dan tegas.
Kesimpulan
Telah jelas bagi kita tidak ada dasar bagi Rancangan pembentukan Undang-undang legalisasi aborsi karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Agama dan Hukum yang berlaku. Legalisasi aborsi akan mendorong pergaulan bebas lebih jauh dalam masyarakat.
Orang tidak perlu menikah untuk melakukan hubungan seks. Sedangkan pelepasan tanggung jawab kehamilan bisa diatasi dengan aborsi. Sedangkan dilarang saja masih banyak terjadi aborsi, bagaimana jika hal ini dilegalkan? Legalisasi akan berakibat orang tidak lagi takut untuk melakukan hubungan intim pranikah, prostitusi karena jika hamil hanya tinggal datang ke dokter atau bidan beranak untuk menggugurkan, dengan kondisi ini dokter ataupun bidan dengan leluasa memberikan patokan harga yang tinggi dalam sekali melakukan pengguguran.
Jika perharinya yang melakukan aborsi 7 s/d 8 orang dan harga sekali aborsi sebesar Rp. 4.000.000,-, berarti dalam satu harinya dokter ataupun bidan bisa meraup keuntungan sebesar Rp. 32.000.000,-. Jika di legalkan hal tersebut lebih berdampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan remaja, legalisasi tidak memberikan manfaat bagi masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Agama, jika bertentangan tidak perlu diterima/dibentuk peraturan tersebut.
Yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana remaja dapat menempatkan dirinya sebagai remaja yang baik dan benar sesuai dengan tuntutan agama dan norma yang berlaku di dalam masyarakat serta dituntut peran serta orangtua dalam memperhatikan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari anaknya, memberikan pendidikan agama, memberikan pendidikan seks yang benar. Oleh sebab itu permasalahan ini merupakan tugas seluruh elemen bangsa tanpa terkecuali, agar menjadi sebuah proritas dalam penanganannya agar tidak terjadi kematian disebabkan aborsi tersebut.
Sistem Pendidikan di Indoneisia
Dipostkan oleh :
MUHSYANUR, S.Pd
(Pembina Pondok Pesantren Modern Daaarul Mu'minin Kabupaten Wajo)
Dalam
rangka untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia maka
diselenggarakanlah suatu sistem pendidikan nasional. Negara memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada setiap warga negara untuk mendapatkan
pendidikan dan pengajaran. Dengan pendidikan dan pengajaran itu
diharapkan akan memperoleh pengetahuan dan kemampuan dasar sebagai bekal
untuk dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Kemampuan dasar yang dimaksud adalah kemampuan membaca,
menulis dan berhitung, serta menggunakan Bahasa Indonesia.
Pendidikan
Dasar adalah pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun,
diselenggarakan selama enam tahun di Sekolah Dasar dan tiga tahun di
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau satuan pendidikan yang sederajat.
Pada jalur luar sekolah, pemerintah menyediakan program paket A dan
paket B (setara SLTP) bagi anak usia sekolah yang orang tuanya tidak
mampu membiayai untuk masuk SD ataupun SLTP.
Pendidikan
Dasar diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan bekal kemampuan
dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai
pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia
serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
Oleh
karena itu, pendidikan memerlukan penanganan yang sangat serius,
khususnya pemerintah yang memiliki otoritas anggaran. Melalui tujuan
pendidikan nasional yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pemerintah harus berupaya untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian
yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakat dan
kebangsaan.
Permasalahan di dunia pendidikan memang
sangat kompleks. Bahkan dikatakan, dunia pendidikan di negeri ini
seperti benang kusut yang sulit memulainya dari mana. Di antara
permasalahan tersebut adalah kualitas pendidikan yang rendah yang
mengakibatkan matinya kreativitas anak didik pasca sekolah dan jatuhnya
rasa percaya diri siswa didik ketika menghadapi dunia kerja yang keras.
Lulusan sekolah sering kali justru menjadi anak cengeng dengan sifat
ABG-nya yang kental, dan semakin jauh dari realitas masyarakat di
sekitarnya. Di samping persoalan mendasar tersebut, masalah lain yang
mengemuka adalah relatif rendahnya kesejahteraan guru, minimnya sarana
Pendidikan Dasar, dan terbatasnya biaya operasional pendidikan. Hal ini
harus dicarikan solusinya, meskipun dilakukan secara bertahap.
Mengapa
Pendidikan Dasar mendapat tekanan khusus dibandingkan jenjang
pendidikan lain? Karena menurut para pakar pendidikan adalah Pendidikan
Dasar ini yang paling parah. Sarananya saja paling banyak rusak
dibandingkan SLTP dan SLTA. Belum lagi menyangkut masalah pelaksanaan
proses belajarnya. Dengan telah disahkannya undang-undang pendidikan
nasional, kita berharap agar dana sebesar 20% dari APBN benar-benar
direalisasikan dan diberikan untuk dunia pendidikan di negeri ini.
Sering kali dana pendidikan tersebut dialokasikan ke birokrasi dan
seremonial pendidikan yang kurang bermanfaat. Kita mengharapkan agar
birokrasi pendidikan lebih dapat memanfaatkan anggaran pendidikan negara
dengan efektif
efisien sehingga menyentuh kebutuhan riil anak didik.
Pustaka
Pendidikan berwawasan kebangsaan: kesadaran ilmiah berbasis multikulturalisme - M. Nasruddin Anshoriy Ch, Pembayun (G. K. R.)
Poligami dan Poliandri
Oleh : Muhsyanur, S.Pd
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Istilah
poligami dan poliandri merupakan istilah yang muncul dalam kehidupan
sehari-hari. Istilah ini erat hubungannya dengan perkawinan seseorang
dengan lawan jenisnya, dimana jika muncul suatu ketertarikan seseorang
dengan lawan jenisnya ketika ia sudah menyandang status perkawinan, maka
terjadilah poligami atau poliandri.
Dalam surat An Nisa ayat 3 yang artinya :
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah)
seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dari
ayat tersebut, dapat terlihat sesungguhnya Allah SWT mengizinkan
terjadinya poligami dengan ketentuan-ketentuan yang telah dipaparkan
pada ayat tersebut, tetapi lain hal untuk poliandri yang mutlak tidak
diperbolehkan dalam kondisi apapun
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Poligami
Poligami
ialah mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang sama.
Berpoligami atau menjalankan (melakukan) poligami sama dengan poligini
yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama.
Drs. Sidi Ghazalba mengatakan bahwa Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan.
Sebenarnya istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan
poliandri.
Tetapi karena poligami lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan
negara-negara yang memakai hukum Islam, maka tanggapan tentang poligini
ialah poligami.
2.1.1 Hukum Poligami
Para
ulama klasik dari kalangan mufassir (penafsir) maupun fakih (ahli
hukum) berpendapat, berdasarkan QS.4:3 pria muslim dapat menikahi empat
perempuan. Tafsir ini telah mendominasi nalar seluruh umat Islam. Jadi
dalam pengertiannya poligami itu tidak dilarang asalkan tidak lebih dari
4 istri.
Akan tetapi, ulama seperti Muhammad Abduh (1849-1905) tidak sepakat dengan penafsiran itu.
Baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang, ya’ni dengan alasan :
Pertama,
saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat
gugur dalam peperangan antara suku dan kabilah. Maka sebagai bentuk
perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu.
Kedua,
saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita
yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-keluarganya.
Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik.
Kini,
keadaan telah berubah. Poligami, papar Abduh, justru menimbulkan
permusuhan, kebencian, dan pertengkaran antara para istri dan anak,
bahkan Syeikh Muhammad Abduh yang juga merupakan mantan Syeikh di
Al-Azhar ini berfatwa bahwa berpoligami ini hukumnya haram, dengan
alasan :
Pertama, syarat poligami adalah berbuat adil.
Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hampir mustahil, sebab Allah sudah
jelas mengatakan dalam QS.4:129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat
adil.
Kedua, buruknya perlakuan para suami yang
berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat
melaksanakan kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin secara baik
dan adil.
Ketiga, dampak psikologis anak-anak dari
hasil pernikahan poligami. Mereka tumbuh dalam kebencian dan
pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan
istri yang lain.
Syeikh Muhammad Abduh juga menjelaskan
hanya Nabi Muhammad saja yang dapat berbuat adil sementara yang lain
tidak, dan perbuatan yang satu ini tak dapat dijadikan patokan sebab ini
kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri-istrinya. ‘Abduh membolehkan
poligami hanya kalau istri itu mandul. Fatwa dan tafsiran Abduh tentang
poligami membuat hanya dialah satu-satunya ulama di dunia Islam yang
secara tegas mengharamkan poligami.
Ulama asal Mesir
yang pernah mengecap pendidikan di Paris ini juga melihat poligami
adalah praktik masyarakat Arab pra-Islam. tentang perempuan pada abad
pertama Hijriah (abad ketujuh Masehi) menjelaskan memang budaya Arab
pra-Islam mengenal institusi pernikahan tak beradab (nikâh al-jâhili) di
mana lelaki dan perempuan mempraktikkan poliandri dan poligami sebagai
berikut :
Pertama, pernikahan sehari, yaitu pernikahan hanya berlangsung sehari saja.
Kedua,
pernikahan istibdâ’ yaitu suami menyuruh istri digauli lelaki lain dan
suaminya tidak akan menyentuhnya sehingga jelas apakah istrinya hamil
oleh lelaki itu atau tidak. Jika hamil oleh lelaki itu, maka jika lelaki
itu bila suka boleh menikahinya. Jika tidak, perempuan itu kembali lagi
kepada suaminya. Pernikahan ini dilakukan hanya untuk mendapat
keturunan.
Ketiga, pernikahan poliandri jenis pertama,
yaitu perempuan mempunyai suami lebih dari satu (antara dua hingga
sembilan orang). Setelah hamil, istri akan menentukan siapa suami dan
bapak anak itu.
Keempat, pernikahan poliandri jenis
kedua, yaitu semua lelaki boleh menggauli seorang wanita berapa pun
jumlah lelaki itu. Setelah hamil, lelaki yang pernah menggaulinya
berkumpul dan si anak ditaruh di sebuah tempat lalu akan berjalan
mengarah ke salah seorang di antara mereka, dan itulah bapaknya.
Kelima
pernikahan-warisan, artinya anak lelaki mendapat warisan dari bapaknya
yaitu menikahi ibu kandungnya sendiri setelah bapaknya meninggal.
Keenam,
pernikahan-paceklik, suami menyuruh istrinya untuk menikah lagi dengan
orang kaya agar mendapat uang dan makanan. Pernikahan ini dilakukan
karena kemiskinan yang membelenggu, setelah kaya perempuan itu pulang ke
suaminya.
Ketujuh, pernikahan-tukar guling, yaitu suami-istri mengadakan saling tukar pasangan.
Praktik
pernikahan Arab pra-Islam ini ada yang berlangsung hingga masa Nabi,
bahkan hingga masa Khulafâ al-Rashidîn Poligami yang termaktub dalam
QS.4:3 adalah sisa praktik pernikahan jahiliah sebagaimana disebutkan di
atas. Oleh karenanya tepat kiranya Thaha Husayn menyatakan dalam
bukunya Fi Syi’r al-Jâhili yang menggemparkan dunia Arab tahun 1920-an
hingga dia dipecat sebagai dosen Universitas Kairo, bahwa Al Quran
adalah cermin budaya masyarakat Arab jahiliyyah (pra-Islam)
Fakta
sosialnya ialah perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan, kurang
menguntungkan dan menyedihkan, dan Al Quran merekamnya melalui
teks-teksnya yang masih dapat kita baca saat ini. Dalam hal poligami, Al
Quran merekam praktik tersebut sebab poligami
adalah realitas sosial masyarakat saat itu
Oleh
karenanya QS 4:3 harus dilihat sebagai ayat yang belum selesai, sebab
Al Quran adalah produk sejarah yang tak bisa luput dari konteks sosial,
budaya, dan politik masyarakat Arab di Hijaz saat itu. Al Quran
sesungguhnya respons Allah terhadap berbagai persoalan umat yang
dihadapi Muhammad kala itu. Sebagai respons, tentu Al Quran menyesuaikan
dengan keadaan setempat yang saat itu diisi budaya kelelakian yang
dominan.
Untuk menurunkan ajaran etik, moral, maupun
hukum, Al Quran membutuhkan waktu dan proses. Ambil contoh larangan
meminum khamr, Al Quran membutuhkan waktu hingga tiga kali. Dalam
masalah poligami pun demikian. Poligami hanya hukum yang berlaku
sementara saja dan untuk tujuan tertentu saja, yaitu pada masa Nabi
(lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Quran, Bandung: Pustaka, 1996, hlm
68-70). Al Quran membutuhkan waktu untuk mencapai tujuan yang sebenarnya
yakni monogami.Menurut Mahmud Syaltut –mantan
Syekh Al-Azhar–, hukum poligami adalah mubah. Poligami dibolehkan selama
tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para isteri. Jika
terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan
untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu,
dianjurkan bagi kaum laki untuk mencukupkan beristeri satu orang saja.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan berpoligami adalah
terkait dengan terjaminnya keadilan dan tidak terjadinya penganiayaan
yaitu penganiayaan terhadap para isteri.
Zyamahsyari dalam kitabnya tafsir Al Kasy-syaaf mengatakan, bahwa poligami menurut syari’at Islam adalah suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan.
Darurat yang dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya untuk bergaul lebih dari seorang isteri. Kecenderungan yang ada pada diri seorang laki-laki itulah seandainya syari’at Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami niscaya akan membawa kepada perzinaan, oleh sebab itu poligami diperbolehkan dalam Islam.
Sedangkan menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membolehkan poligami dengan syarat atas izin istri pertama. UU ini diperkuat dengan keluarnya UU RI No 7/1989 tentang Pengadilan Agama, khususnya Pasal 49 yang mengatakan pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti mengurusi poligami) dan lainnya. Kompilasi Hukum Islam semakin memperjelas kebolehan poligami di Indonesia.
1. Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu: adanya persetujuan dari istri;
2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material);
3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial). Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan
2.1.2 Ayat-ayat yang menjelaskan Poligami
Dasar hukum poligami disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya.”
Dalam ayat ini disebutkan bahwa para wali yatim boleh mengawini yatim asuhannya dengan syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia mengawini wanita lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah RA ketika ditanya oleh Uswah bin Al-Zubair RA mengenai maksud ayat 3 Surat, An-Nisa’ tersebut yaitu: “Jika wali anak wanita tersebut khawatir atau tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka wali tersebut tidak boleh mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, jika tidak, maka ia hanya boleh beristeri seorang dan inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula akan berbuat zhalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.”
Sehubungan dengan ini, Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligamibagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil.
Jadi maksud ayat 3 Surat An-nisa’ itu adalah bahwa kamu boleh mengawini yatim dalam asuhanmu dengan syarat ail. Bila tidak dapat berlaku demikian, hendaklah kamu memilih wanita yang lain saja. Sebab perempuan selain yatim yang dalam asuhanmu masih banyak jumlahnya. Namun jika kamu tidak dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang wanita saja.
Sebelum turun ayat 3 Surat An-Nisa’ diatas, banyak sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat orang, sesudah ada pembatalan paling banyak poligami itu empat, maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat, untuk menceraikan isteri-isterinya, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan bin Umaiyyah Al Tsaqafy yang waktu masuk Islam mempunyai sepuluh isteri, pilihlah empat diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya.” (HR. Nasa’iy dan Daruquthni)
Dalam hadits lain disebutkan pula tentang pengakuan seorang sahabat bernama Qais bin Harits yang artinya:
“Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan kepada Nabi Muhammad SAW maka beliau bersabda: “Pilihlah empat orang dari mereka.” (HR. Abu Daud)
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat dan hadits yang membatasi poligami, maka timbul pertanyaan: “Asas perkawinan dalam Islam termasuk monogami atau poligamikah?”
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
1. Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu Monogami.
2. Bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah Poligami
Golongan pertama beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkah poligami itu dengan syarat harus adil. Mengenai keadilan ini harus dikaitkan dengan firman Allah SWT dalam Surat An Nisaa’ ayat 129 yang artinya:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Karena ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat berbuat adil, suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami.
Bagi yang berpendapat bahwa asas pernikahan itu adalah poligami, beralasan bahwa antara ayat 3 dan ayat 129 Surat An-Nisa’ tidak terdapat pertentangan. Hanya saja keadilan yang dimaksud pada kedua ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang.
Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum dalam ayat 129 Surat An-Nisa’ itu adalah adil dalam cinta dan jima’. Ini memang logis. Umpama dari Ahad giliran di rumah isteri pertama dengan memberikan nafkah batin, hari Senin giliran isteri kedua memberikan nafkah yang sama, demikian selanjutnya pada isteri ketiga dan keempat. Adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab gairah untuk memberikan nafkah batin ini tidak selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja, maka itu tidak dosa.
Golongan yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya dalam keadaan memaksa atau darurat, Muhammad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:
1. Isteri mandul
2. steri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin
3. Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong.
4. Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.
Dari dua pendapat diatas, baik asas perkawinan itu monogami ataupun poligami, yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil.
Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidakdipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak Mu’asyarah bi Al-Ma’ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ ayat 19 yang artinya:
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut (baik).” (11)
Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga, ia wajib Mu’asyarah bi Al-Ma’ruf kepada isterinya. Ia tidak boleh berbuat semena-mena terhadap isterinya, karena dalam pergaulan hidup berumah tangga, isteri boleh menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu’, bila suami tidak mau atau tidak mampu memberi nafkah, atau tidak berlaku adil, atau suami berbuat serong, penjudi, pemabuk, dan sebagainya, dan isteri tidak rela
(lihat Surat Al-Baqarah ayat 229). Akibat khulu’ suami tidak bisa ruju’ tanpa persetujuan bekas isteri. Itulah konsekwensi bagi suami sebagai kepala rumah tangga yang tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya, yang berarti ia tidak bergaul secara patut/baik terhadap isterinya.
2.1.3 Dampak poligami
Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami :
1. Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
2. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
3. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.
4. Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
5. Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.
2.2 Pengertian Poliandri
Poliandri adalah Satu orang perempuan memiliki banyak suami.
Disebut poliandri fraternal jika si suami beradik kakak dan disebut non-fraternal bila suami-suami tidak ada hubungan kakak adik kandung.
2.2.1 Hukum Poliandri
Hukum poliandri adalah haram berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2.2.2 Ayat-ayat yang menjelaskan Poliandri
Dalil Al-Qur`an, adalah firman Allah SWT :
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (QS An-Nisaa` [4] : 24)
Ayat di atas yang berbunyi “wal muhshanaat min al-nisaa` illa maa malakat aymaanukum” menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki, adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Beirut : Darul Ummah, 2003) hal. 119 :
“Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.”
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa kata muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka (al-haraa`ir), tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul azwaaj) (Al-Umm, Juz V/134).
Imam Syafi’i menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan :
“Wanita-wanita yang bersuami baik wanita merdeka atau budak diharamkan atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya (Imam Syafi’i, Ahkamul Qur`an, Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, Juz I/184).
Jelaslah bahwa wanita yang bersuami, haram dinikahi oleh laki-laki lain. Dengan kata lain, ayat di atas merupakan dalil al-Qur`an atas haramnya poliandri.
Adapun dalil As-Sunnah, bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya.” (ayyumaa `mra`atin zawwajahaa waliyaani fa-hiya lil al-awwali minhumaa) (HR Ahmad, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, hadits no. 2185; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Hadits di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Berdasarkan dalalatul iqtidha`1, hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidaklah sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja.
Makna (dalalah) ini –yakni tidak sahnya pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu suami saja – merupakan makna yang dituntut (iqtidha`) dari manthuq hadits, agar makna manthuq itu benar secara syara’. Maka kami katakan bahwa dalalatul iqtidha` hadits di atas menunjukkan haramnya poliandri.
Dengan demikian, jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah berdasarkan dalil-dalil al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah kami sebutkan di atas. Wallahu a’lam [ ]
2.2.3 Dampak Poliandri
Poliandri berdampak :
- kurangnya keharmonisan dalam hubungan rumah tangga
- dampak psikologis bagi anak yang memiliki banyak bapak
- mendapat celaan dari masyarakat sekitar
Bab lll.
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Poligami tidak pernah dilarang, namun dibatasi praktiknya.
Manusia memiliki kebutuhan dasar untuk mendapatkan keturunan melalui proses reproduksi, reproduksi ini menimbulkan libido dan nafsu birahi. Biasanya nafsu ini dikuatkan oleh factor genetic, makanan dan lingkungan. Sebagai makhluk social dan makhluk berbudaya, manusia harus memiliki pembatasan libido.
Poligami boleh dilakukan, sedangkan poliandri tidak boleh.
Zyamahsyari dalam kitabnya tafsir Al Kasy-syaaf mengatakan, bahwa poligami menurut syari’at Islam adalah suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan.
Darurat yang dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya untuk bergaul lebih dari seorang isteri. Kecenderungan yang ada pada diri seorang laki-laki itulah seandainya syari’at Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami niscaya akan membawa kepada perzinaan, oleh sebab itu poligami diperbolehkan dalam Islam.
Sedangkan menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membolehkan poligami dengan syarat atas izin istri pertama. UU ini diperkuat dengan keluarnya UU RI No 7/1989 tentang Pengadilan Agama, khususnya Pasal 49 yang mengatakan pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti mengurusi poligami) dan lainnya. Kompilasi Hukum Islam semakin memperjelas kebolehan poligami di Indonesia.
1. Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu: adanya persetujuan dari istri;
2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material);
3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial). Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan
2.1.2 Ayat-ayat yang menjelaskan Poligami
Dasar hukum poligami disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya.”
Dalam ayat ini disebutkan bahwa para wali yatim boleh mengawini yatim asuhannya dengan syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia mengawini wanita lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah RA ketika ditanya oleh Uswah bin Al-Zubair RA mengenai maksud ayat 3 Surat, An-Nisa’ tersebut yaitu: “Jika wali anak wanita tersebut khawatir atau tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka wali tersebut tidak boleh mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, jika tidak, maka ia hanya boleh beristeri seorang dan inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula akan berbuat zhalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.”
Sehubungan dengan ini, Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligamibagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil.
Jadi maksud ayat 3 Surat An-nisa’ itu adalah bahwa kamu boleh mengawini yatim dalam asuhanmu dengan syarat ail. Bila tidak dapat berlaku demikian, hendaklah kamu memilih wanita yang lain saja. Sebab perempuan selain yatim yang dalam asuhanmu masih banyak jumlahnya. Namun jika kamu tidak dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang wanita saja.
Sebelum turun ayat 3 Surat An-Nisa’ diatas, banyak sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat orang, sesudah ada pembatalan paling banyak poligami itu empat, maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat, untuk menceraikan isteri-isterinya, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan bin Umaiyyah Al Tsaqafy yang waktu masuk Islam mempunyai sepuluh isteri, pilihlah empat diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya.” (HR. Nasa’iy dan Daruquthni)
Dalam hadits lain disebutkan pula tentang pengakuan seorang sahabat bernama Qais bin Harits yang artinya:
“Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan kepada Nabi Muhammad SAW maka beliau bersabda: “Pilihlah empat orang dari mereka.” (HR. Abu Daud)
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat dan hadits yang membatasi poligami, maka timbul pertanyaan: “Asas perkawinan dalam Islam termasuk monogami atau poligamikah?”
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
1. Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu Monogami.
2. Bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah Poligami
Golongan pertama beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkah poligami itu dengan syarat harus adil. Mengenai keadilan ini harus dikaitkan dengan firman Allah SWT dalam Surat An Nisaa’ ayat 129 yang artinya:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Karena ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat berbuat adil, suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami.
Bagi yang berpendapat bahwa asas pernikahan itu adalah poligami, beralasan bahwa antara ayat 3 dan ayat 129 Surat An-Nisa’ tidak terdapat pertentangan. Hanya saja keadilan yang dimaksud pada kedua ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang.
Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum dalam ayat 129 Surat An-Nisa’ itu adalah adil dalam cinta dan jima’. Ini memang logis. Umpama dari Ahad giliran di rumah isteri pertama dengan memberikan nafkah batin, hari Senin giliran isteri kedua memberikan nafkah yang sama, demikian selanjutnya pada isteri ketiga dan keempat. Adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab gairah untuk memberikan nafkah batin ini tidak selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja, maka itu tidak dosa.
Golongan yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya dalam keadaan memaksa atau darurat, Muhammad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:
1. Isteri mandul
2. steri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin
3. Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong.
4. Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.
Dari dua pendapat diatas, baik asas perkawinan itu monogami ataupun poligami, yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil.
Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidakdipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak Mu’asyarah bi Al-Ma’ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ ayat 19 yang artinya:
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut (baik).” (11)
Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga, ia wajib Mu’asyarah bi Al-Ma’ruf kepada isterinya. Ia tidak boleh berbuat semena-mena terhadap isterinya, karena dalam pergaulan hidup berumah tangga, isteri boleh menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu’, bila suami tidak mau atau tidak mampu memberi nafkah, atau tidak berlaku adil, atau suami berbuat serong, penjudi, pemabuk, dan sebagainya, dan isteri tidak rela
(lihat Surat Al-Baqarah ayat 229). Akibat khulu’ suami tidak bisa ruju’ tanpa persetujuan bekas isteri. Itulah konsekwensi bagi suami sebagai kepala rumah tangga yang tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya, yang berarti ia tidak bergaul secara patut/baik terhadap isterinya.
2.1.3 Dampak poligami
Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami :
1. Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
2. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
3. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.
4. Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
5. Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.
2.2 Pengertian Poliandri
Poliandri adalah Satu orang perempuan memiliki banyak suami.
Disebut poliandri fraternal jika si suami beradik kakak dan disebut non-fraternal bila suami-suami tidak ada hubungan kakak adik kandung.
2.2.1 Hukum Poliandri
Hukum poliandri adalah haram berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2.2.2 Ayat-ayat yang menjelaskan Poliandri
Dalil Al-Qur`an, adalah firman Allah SWT :
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (QS An-Nisaa` [4] : 24)
Ayat di atas yang berbunyi “wal muhshanaat min al-nisaa` illa maa malakat aymaanukum” menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki, adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Beirut : Darul Ummah, 2003) hal. 119 :
“Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.”
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa kata muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka (al-haraa`ir), tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul azwaaj) (Al-Umm, Juz V/134).
Imam Syafi’i menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan :
“Wanita-wanita yang bersuami baik wanita merdeka atau budak diharamkan atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya (Imam Syafi’i, Ahkamul Qur`an, Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, Juz I/184).
Jelaslah bahwa wanita yang bersuami, haram dinikahi oleh laki-laki lain. Dengan kata lain, ayat di atas merupakan dalil al-Qur`an atas haramnya poliandri.
Adapun dalil As-Sunnah, bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya.” (ayyumaa `mra`atin zawwajahaa waliyaani fa-hiya lil al-awwali minhumaa) (HR Ahmad, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, hadits no. 2185; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Hadits di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Berdasarkan dalalatul iqtidha`1, hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidaklah sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja.
Makna (dalalah) ini –yakni tidak sahnya pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu suami saja – merupakan makna yang dituntut (iqtidha`) dari manthuq hadits, agar makna manthuq itu benar secara syara’. Maka kami katakan bahwa dalalatul iqtidha` hadits di atas menunjukkan haramnya poliandri.
Dengan demikian, jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah berdasarkan dalil-dalil al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah kami sebutkan di atas. Wallahu a’lam [ ]
2.2.3 Dampak Poliandri
Poliandri berdampak :
- kurangnya keharmonisan dalam hubungan rumah tangga
- dampak psikologis bagi anak yang memiliki banyak bapak
- mendapat celaan dari masyarakat sekitar
Bab lll.
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Poligami tidak pernah dilarang, namun dibatasi praktiknya.
Manusia memiliki kebutuhan dasar untuk mendapatkan keturunan melalui proses reproduksi, reproduksi ini menimbulkan libido dan nafsu birahi. Biasanya nafsu ini dikuatkan oleh factor genetic, makanan dan lingkungan. Sebagai makhluk social dan makhluk berbudaya, manusia harus memiliki pembatasan libido.
Poligami boleh dilakukan, sedangkan poliandri tidak boleh.
Senin, 28 Februari 2011
Minggu, 20 Februari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)